Lontaran
Harapan Palsu
Bintang-bintang
ditelan awan. Saatku sandarkan tubuh di dinding, ku tatapkan mata ke atas,
terlihat langit yang tak jelas, tak indah seperti kemarin. Cahaya bulan,
kerlipan bintang, tak menghiasi tikar hitam di angkasa. Entahlah, ku merasa itu
jelas, sesuai kondisi sekarang.
Harapan
manusia akan berkumandang sampai bumi pecah. Renungan tumbuhan seakan
mengisyaratkan kedamaian. Kebebasan hewan menunjukkan adanya variasi kehidupan.
Dan kerelaan tanah memberikan bentuk kedamaian akan kesejahteraan. Namun,
kesombongan manusia hanya perilaku sia-sia. Lihatlah hembusan angin, aliran air
yang terus mengalir, menghidupi makhluk ciptaan tuhan.
Harapan anak
bangsa, menumbuhkan semangat jiwa tanah air, membangun dalam mensejahterakan
kami Indonesia. Perbedaan taraf kehidupan sudah jelas terlihat oleh tubuh yang
telanjang ini. Engkau telah melontarkan kata kebahagiaan sesaat, memberikan
harapan fana, tapi semua tak jelas di jalan yang benar, engkau berbalik arah
dan berpaling dari lontaran-lontaran kata harapan yang membahagiakan.
“Aku berjanji
untuk memakmurkan dan mensejahterkan engkau wahai rakyatku” hanyalah sebuah
kata bermakna yang disia-siakan. Akan dilakukan hanyalah alasan yang tak
berujung. Menangislah mereka dibalut sengsara. Berteriaklah mereka akan
kepedulian. Hanya pekerjaan yang terus menjadi penyesalan, akibat kesia-siaan
yang mendera. Hasil hampa, walau air mata mengeruhi jernihnya nil, walau suara
berkumandang di seluruh jagad raya.
Harapan-harapan
mereka, akan kami tunggu darimu. Berkatalah bapak filsuf, takkan ada kemakmuran
dari kebiadaban, apalagi mengharapkan kesempurnaan dari mereka. Lontaran
harapan palsu, jelaslah semuanya. Teruslah berjuang Indonesiaku, musnahkan para
kapitalis negeri ini, hancurkan sistem Nkesengsaraan itu. Rapatkan barisan akan
kedamaian dan kesejahteraan. Aku Indonesia, adalah burung garuda yang perkasa,
memberi makan anakku yang kelaparan.