Tubuh
Hampa yang Dihiasi
Belaian
Kasih Sang Pencari Hati
Oleh : Ilyas Yusuf
Oleh : Ilyas Yusuf
Tertidur letih diatas kasur yang
lembut. Pada waktu itu, terlihat sekelompok orang menyaksikan tubuh hampa yang
tak dapat berbuat banyak, terdiam pedih ditutupi selimut tebal yang berlapis
sarung dan bantal. Wajar, tak ada cara selain itu.
Aku sedikit kaget, butir-butir kuning
yang ditaruh dalam botol putih, harus ditelan sekurang-kurangnya lima dalam
sehari, hanya untuk membangunkan semangat hidup dan menghilangkan kehampaan tubuh
tak berharga itu, habitus yang sakit. Dan lagi-lagi, tak ada cara selain itu.
Lelucon-lelucon penguras tenaga perut,
berkerumunan dan mengumpul serta memadat, seakan mampu membuat si pemilik tubuh
hampa itu untuk dapat tertawa serta tak merasakan kedinginan di balik selimut
tebal. Aku yang ada di antara kerumunan gender, tak bisa menutup mulut dan
menyeriuskan diri akibat kabut-kabut lelucon. Suasana yang tetap ria dibalik
penderitaan organ tubuh bagi yang merasakannya. Dan sedikit cara yang mampu menghiasi
gelapnya kehidupan.
Malam yang dingin dan bersahabat,
lampu-lampu terang yang menerangi jalan yang gelap, walau kedap-kedip cahaya
menghiasi kamar kedua insan yang kusayangi, dan lelucon-lelucon mereka pelawak
asrama yang seringkali melontarkan kata-kata indah yang berlebihan. Di waktu
gelapnya kamar, tubuh tegak berdiri di balik pintu, sedang menatap tubuh di
balik selimut tebal berlapis pelengkap tidur, seakan kasihan meratapi nasib
pemilik si tubuh hampa itu. Masuklah dia, dan terus mendekat mendekatinya.
Lontaran-lontaran kasih,
belaian-belaian tangan, ucapan-ucapan sayang, mengiringi pendekatannya pada
sang pemilik tubuh. Di ruangan yang hangat itu, sedikit demi sedikit
meninggalkan tempatnya dan memindahkan dirinya di ruangan yang berbeda. Apa
yang terjadi pada mereka semua? Mungkinkah ini merupakan bentuk penghormatannya
kepada sang kakak? Atau ada maksud lain dari itu? Hanya sebuah rekayasa hati
yang tak bisa dijawab, namun mampu tuk dibaca. Ingin rasanya kutarik selembar
kertas dan ku tulis kejadian itu pada lembaran-lembaran putih bergaris tinta
hitam yang teratur. Namun sayang, rasa malu tetap mendera diriku dan tulang
rusukku meninggalkanku, mencari data dan mengunduh film kesukaannya. Akhirnya
ku tegakkan juga diriku, dan ku langkahkan kakiku seiring panggilan pelawak
asrama sambil menunggu tulang rusukku kembali.
Entah apa yang mereka ceritakan, yang
jelas dukungan-dukungan dan belaian kasih itu semua adalah pengisi bagi tubuh
yang terbaring. Di lain sisi, kabut-kabut lelucon menguras suluruh tubuhku
untuk memendek seketika dan normal sesudahnya. Aku merasa, belaian-belaian
kasih, ciuman lontaran kata adalah kelemahan setiap wanita. Kelembutan kata
yang puitis, perhatian akan kasih sayang, jelaslah aspek keruntuhan hati
wanita. Kehampaan akan hilang, seiring sinar-sinar akan sayang dan kasih
menghiasi organ tubuh yang sedang runtuh. Wanita takkan mampu menghindar dari
kemanjaannya, dan pria takkan mampu menghapus sikap penggodanya. Keadilan tuhan
telah terbukti, di antara perbuatan hambanya. Tetaplah menjadi seperti itu,
karena yang terlintas kelak, adalah kedamaian, kelembutan, dan kasih sayang.