Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Test link

Birokrasi di Era Orde Baru


         Pemerintahan Orde Baru muncul dengan ditopang oleh tiga pilar kekuatan utamanya, yaitu militer, Golkar dan birokrasi pemerintah. Ketiga pilar kekuatan politik tersebut merumuskan berbagai kebijakan politik ekonomi yang memiliki dimensi luas bagi kehidupan masyarakat. Birokrasi menempati posisi yang strategis dalam memainkan peran politiknya sebagai regulator, perumus kebijakan, pelaksana kebijakan sekaligus juga berperan melakukan evaluasi kebijakan.
Peran yang sangat dominan pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam masyarakat, sekaligus mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur sistem perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional non-ideologis.
Strategi politik tersebut membawa implikasi pada hilangnya kemajemukan atau pluratis sosial, politik, maupun budaya yang terdapat dalam masyarakat Indonesia. Kehidupan sosial dan politik yang serba tunggal untuk memudahkan mobilisasi oleh birokrasi pemerintah, seperti pembentukan Korpri, HKTI, KUD; PKK, Kadin, KNPI dan sebagainya.
Pada masa Orde Baru, birokrasi menjelma menjadi sebuah kekuatan politik yang dominan dalam merumuskan berbagai kebijakan pembangunan. Pola birokrasi seperti itu kemudian melahirkan hubungan patrimonial yang sangat kuat dalam struktur birokrasi Indonesia.
Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia, merupakan kelanjutan dan warisan dari system nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau dan bercampur dengan birokrasi gaya kolonial. Jadi, selain tumbuh birokrasi modem tetapi warisan birokrasi tradisional juga mewarnai dalam perkembangan birokrasi di Indonesia. Sama seperti halnya abdi dalem dan priyayi yang juga berlapis-lapis, pegawai negeri pun terdiri dari berbagai pangkat, golongan dan eselon. Semboyan pegawai negeri adalah abdi negara, mengandung makna berorientasi ke atas, sehingga mirip dengan birokrasi kerajaan, ambtenaar. Birokrasi, yang terjadi, lebih menekankan pada ke atas dari pada sebagai ke bawah, memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi di Indonesia, masih mewarisi model birokrasi patrimonial. Model birokrasi seperti ini di mana perilaku dan mentalitas sebagai penguasa yang harus dilayani, lebih mengedepan daripada sebagai aparat yang harus melayani publik. Pola hubungan yang terjadi juga lebih bersifat personal, di mana faktor kedekatan dan loyalitas pribadi menjadi prioritas daripada aturan-aturan legal-formal. Dalam konteks ini, lalu yang muncul adalah pola hubungan yang bersifat persona! yang berdasarkan kekeluargaan, pertemanan, dan like and dislike dalam hal promosi jabatan.
Melihat kondisi seperti ini, tampaknya, model birokrasi ala Weberian, yang menekankan profesionalisme, impersonal, dan legal-formal, masih belum tumbuh dalam tubuh birokrasi di Indonesia pada era otonomi ini. Model birokrasi patrimonilaisme tampaknya masih tetap eksis dan bercokol dalam tubuh birokrasi di tingkat iokal (dan juga di tingkat nasional). Dengan beium berkembangnya birokrasi ala Weber dan masih eksisnya model birokrasi patrimonial, tentu pada gilirannya akan menghambat proses demokrasi di Indonesia, pada satu sisi, dan peningkatan pelayanan publik di sisi lain.
Konsep birokrasi modern dan rasional yang dianut banyak negara maju selama ini tak dapat dilepaskan dari gagasan Weber (1947:150). Weber memandang birokrasi sebagai sebuah organisasi yang hierarkhis, di mana PNS berkewajiban melaksanakan tugas yang berkaitan dengan urusan-urusan publik. Sebagai sebuah lembaga, birokrasi juga melaksanakan fungsi dan kewajiban pemerintahan. Idealnya, dalam suatu negara demokrasi, PNS memfokuskan tugasnya pada masalah pelayanan kepada masyarakat (Gladden, 1956:17-18).
Namun. pemikiran Weber tersebut dipandang kurang partisipatif. Menurut Osboine dan Gaebler (1995), birokrasi perlu memerhatikan kerja tim dan kontrol rekan kerja dan bukan semata didominasi atau dikontrol atasan. Menurut mereka, paradigma baru birokrasi setidaknya memiliki ciri-ciri berikut: mengarahkan, memberdayakan, dan menciptakan persaingan dalam pelayanan publik.
Model birokrasi entrepreneur tersebut memeriukan sinergi antara pemerintah dan birokrasi. Keduanya perlu memosisikan diri sebagai pengarah dan bukan sebagai pengurus semua bidang kehidupan. Oleh karena itu, ke depan perlu membangun birokrasi yang dapat mendukung secara luas terciptanya ruang partisipasi publik, pemberdayaan, dan peningkatan kreativitas masyarakat.
Masalahnya, sekarang ini adalah bagaimana membangun semangat kepeloporan dan mengurangi budaya birokrasi feodalisme yang menjangkiti hamper sleuruh lini birokrasi Indonesia. Setiap birokrat perlu membiasakan diri mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan proaktif, tangkas membaca kebutuhan publik, memandang semua orang sederajat di depan hukum, serta menghargai prinsip kesederajatan. Kentalnya budaya petunjuk, misalnya, telah membuat lambannya pelayanan publik di negeri ini.
Mengulangi argument yang telah dikemukakan di atas, setidaknya ada empat kemungkinan tindakan politik untuk mewujudkan reformasi birokrasi yang sampai saat ini dirasakan belum mengalami perubahan yang signifikan, yaitu :
1. Berdasarkan asumsi bahwa elit penguasa tidak memiliki kemampuan untuk membuat tembok isolasi yang betul-betui solid dan “kedap pengaruh”. Untuk itu perlu adanya kekuatan ekstra yang mampu memberikan dorongan yang kuat kepada birokrasi melalukan perubahan yang radikal. Aliansi para imuawan dan aktivis diyakini memiliki kemampuan untuk membantu dengan membetuk aliansi penerapan “Good Governance”. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi sekutu potensial dalam berbagai kelompok kepentingan dan berusaha menemukan “common denominator”.
2. Didasarkan pada asumsi bahwa negara Orde Baru otonom dan memiliki keuatan politik yang sangat berpengaruh sampai saat ini. Kalau kelompok dominant tersebut tidak memandang periu menerapkan reformasi birokrasi, rnaka perubahan itu tidak akan pernah terjadi. Karena itu, tugas aliansi, baik yang menjadi bagian dari pemerintahan seperti staf ahli maupun aktivis politik, adalah mendorong secara kuat dan memasukkan gagasan pro “good governance” dalam agenda pencapaian kepentingan nasional.
3. Didasarkan bahwa kebijakan pembangunan yang dijalankan lebih banyak dipaksakan pada Indonesia oleh para donor sebagai syarat untuk memperoleh bantuan asing. Karena itu, sumber perubahan bias berasal dari lembaga-lembaga donor dan negara kaya dengan mensyaratkan adanya perubahan dan reformasi birokrasi, terutama yang menyangkut akses rakyat dalam pelayanan publik. Kalangan aktivis dan ilmuawan social dapat memobilisasi kampanye di kalangan negara-negara dan badan-badan international pemberi bantuan asing agar pemerintah Indonesia mengembangkan prinsip-prinsip good governance dalam format birokrasinya.
4. Didasarkan pada gagasan bahwa kebijakan yang diterapkan berkaitan erat dengan kepentingan individual penguasa untuk memaksimalkan pencapaian tujuan, terutama kepentingan melanggengkan kekuasaan. Kalau reformasi birokrasi dianggap mampu mendukung kepentingannya, maka ia akan menerapkannya, Karena itu, para ilmuawan dan aktivis harus mampu menunjukkan kepada elit penguasa bahwa kepentingan individual mereka untuk berkuasa sangat terkait dengan keharusan mereformasi birokrasi sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.
Asumsi yang dibangun seperti di atas memiliki karakter antara lain :
a. sensitif dan responsif terhadap peluang-peluang dan tantangan baru yang timbul sebagai akibat dari globalisasi
b. tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental, tetapi mampu melakukan terobosan melalui pemikiran yang inovdtif dan kreatif
c. mempunyai wawasan yang futuristik dan sistematik
d. mampu mengoptimalkan sumber yang tersedia dengan menggeser sumber dari kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kegiatan yang berproduktivitas tinggi.
Disamping itu, peran birokrasi adalah melakukan fungsi instrumental yakni fungsi yang menjabarkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik ke dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan, komoditas, atau mewujudkan situasi tertentu. Peran birokrasi lain adalah melakukan fungsi katalis public interest yakni fungsi yang mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan publik dan mengintegrasikan serta mengimplementasikan kebijakan dan peraturan perundang-undangan secara benar. Dengan peranan seperti tersebut di atas. birokrasi merupakan kunci keberhasilan untuk melaksanakan agenda-agenda pembangunan di bidang sosiai, ekonomi dan politik.
Berbagai asumsi di atas didasarkan pada kajian teoritis dan empirik mengenai politik, baik yang “society centered” maupun “state centered”. Walaupun didasarkan pada kajian politik, namun tujuan tulisan ini adalah memberikan sumbangan pemikiran dan perluasan wawasan bagi para peminat di bidang birokrasi dan pelakunya sendiri mengenai bagaimana reformasi bias dijalankan dengan melibatkan berbagai actor, baik yang di dalam maupun di luar pemerintahan.

Dengan mendedikasikan diri sebagai manusia yang berakal, maka tugas utnuk siap dibebani adalah jawaban. Bukan malah memberikan beban kepada mereka yang pura-pura berakal.

1 komentar

  1. terima kasih informasinya.

    www.kiostiket.com
© Ilyas Yusuf. All rights reserved. Distributed by Jago Desain