Pembentukan
Komisi Ombudsman Nasional (Ombudsman) di Indonesia dilatarbelakangi oleh
suasana transisi menuju demokrasi. Pada saat itulah Gus Dur sebagai presiden RI
memutuskan Ombudsman sebagai lembaga yang diberi wewenang mengawasi kinerja
pemerintahan (termasuk dirinya sendiri) dan pelayanan umum lembaga peradilan.
Pembentukan Ombudsman telah ia persiapkan bersama Marzuki Darusman dan Antonius
Sujata. Ombudsman mulai dibentuk di Indonesia pada tanggal 10 maret 2000 yang ditandai
dengan Keppres (pengganti) Nomor 44 tahun 2000 tentang pembentukan Komisi
Ombudsman Nasional.
Dalam
perkembangan selanjutnya, meskipun diangkat melalui Keputusan Presiden
(Keppres), namun Ombudsman dituntut untuk tidak hanya mengikuti kemauan pemerintah,
namun mampu menjadi kontrol pemerintahan waktu itu. Hal ini terbukti pada saat
terjadinya polemik antara Ombudsman dengan Gus Dur saat pengangkatan Ketua
Mahkamah Agung. Gus Dur sebagai Presiden tidak berkenan menetapkan dan
mengangkat satu dari dua orang calon Ketua Mahkamah Agung yang diusulkan DPR.
Dalam hal ini, Ombudsman menegaskan berbeda pendapat dengan Gus Dur dan
menyatakan bahwa berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
yang pada dasarnya bersifat impreratif, maka semestinya Gus Dur selaku Presiden
dan dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara wajib menentukan salah satu dari
dua calon yang diusulkan DPR, karena pasal tersebut tidak memberikan alternatif
tindakan lain yang dapat dilakukan Gus Dur sebagai soerang Presiden (Sujata
& Surachman:2003:10-11). Oleh karena itu, Ombudsman memberikan rekomendasi
yang isinya menyarankan agar Gus Dur selaku Presiden memilih dan menetapkan
satu dari dua calon yang sudah diusulkan oleh DPR, dan akhirnya Gus Dur
mengikuti saran dari Ombudsman, polemik pun selesai.
Sejak
awal berdiri, tampaknya Ombudsman memang memilih untuk bersikap low profile. Sikap ini secara objektif
dapat dimaklumi karena Ombudsman masih dalam proses membangun kapasitas kerja dan
secara politis kedudukan keputusan presiden juga sangat rentan terhadap
“fluktuasi” politik yang berkembang. Tindakan high profile tanpa didasari perhitungan matang justru akan menjadi
kontra produktif bagi Ombudsman yang sedang memnbangun eksisitensi.
Bagaimanapun, bila dibandingkan dengan UU, keputusan presiden lebih lemah kedudukannya
karena dapat dan lebih mudah dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden. Strategi low profile tersebut justru menjadikan
Ombudsman semakin memperoleh dukungan publik dari pihak-pihak eksternal.
Dukungan
tersebut dapat diinventarisir antara lain dari pencantuman Ombudsman dalam UU
No. 25 tahun 2000 tentang Propenas (Program Pembangunan Nasional) sampai dengan
diterbitkannya TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 yang memberi mandat kepada eksekutif
dan legislatif agar menyusun undang-undang Ombudsman. Bahkan yang terakhir,
Komisi Konstitusi (KK) memasukkan usulan pasal tentang Ombudsman dalam naskah
amandemen UUD 1945 yang mereka susun dan telah diserahkan kepada MPR periode
1999-2004. Usul pengaturan Ombudsman itu dimasukkan dalam pasal 24 G ayat (1),
berbunyi : Ombudsman Republik Indonesia adalah ombudsman yang mandiri guna
mengawasi penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat, dan ayat (2)
berbunyi : Susunan, kedudukan, dan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia
diatur dengan undang-undang.
Sampai
saat ini, sudah terbentuk tiga Ombudsman daerah di Indonesia. Dalam catatan Ombudsman, setidaknya ada lebih
dari dua puluh daerah yang berniat membentuk Ombudsman daerah. Adapun ketiga
daerah yang dimaksud adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Asahan
Sumatera Utara, dan Pangkal Pinang Bangka Belitung. Yang jelas, pembentukan
Ombudsman di daerah dapat menjadi lembaga yang independen, tanpa intervensi
politik dan pemerintah dalam menjalankan pelayanan umum yang baik terhadap masyarakat.
(Masthuri, Budi. 2005.
Mengenal Ombudsman Indonesia. PT Pradnya Paramita : Jakarta)