Analisis
terhadap fertilitas sama halnya dengan
analisis terhadap mortalitas. Pada negara berkembang, kedua aspek ini
memang memiliki keterikatan tehadap pertambahan maupun pengurangan pada
populasi penduduk. Namun berbeda pada negara maju, angka fertilitas sudah mampu
terkoordinasi dengan baik sehingga, pertambahan penduduk tidak begitu pesat.
Pada negara berkembang, hal untuk mengatasi pertambahan penduduk memang agak
sulit seiring dengan tidak baiknya koordinasi pada kalangan pemerintah.
Masalah
kemiskinan memang disebut-sebut sebagai salah satu faktor terganggunya angka
fertilitas pada negara berkembang. Di antara negara berkembang di Asia, hanya China, Thailand
dan Sri Lanka saja yang telah mengurangi rata-rata fertilitas. Fertilitas yang
tinggi berdampak pada angka ketergantungan rasio. Hal ini terlihat pada jumlah
orang yang tergantung dengan jumlah orang dewasa di tempat kerja.
Di negara seperti Pakistan, Nepal dan Filipina, di mana
fertilitas tetap tinggi walaupun sudah direncanakannya program keluarga
berencana. Data yang ada menunjukkan bahwa masalah utama dalam membatasi
fertilitas bukanlah rendahnya informasi atau akses kontrasepsi tetapi, lebih ke
arah rendahnya kualitas pelayanan KB, terutama pelayanan yang tersedia untuk
para penduduk miskin. Lalu adanya rasa takut akan efek samping medis, serta
hambatan sosial, budaya dan agama untuk menggunakan alat KB. Seperti halnya
dengan negara Kamboja, Laos dan Myanmar. Kurangnya kemajuan dalam mengurangi fertilitas
juga merefleksikan rendahnya pengetahuan dan akses untuk alat KB. Di seluruh
wilayah Asia, fertilitas cenderung lebih tinggi pada penduduk miskin. Hal itu
menyebabkan, faktor lainnya seimbang, dalam peningkatan proporsi penduduk yang
hidup miskin.
Nah, makin tinggi
fertilitas pada penduduk miskin, menyebabkan perbedaan dalam hal pengetahuan
dan akses terhadap alat KB. Contohnya, angka pemakaian kontrasepsi tidak
bervariasi seperti halnya pendapatan di negara seperti Indonesia dan Bangladesh
yang mempunyai program KB yang mapan dan efektif, ataupun di negara di mana
program KB itu kurang berhasil seperti di Pakistan dan Nepal. Namun demikian,
fertilitas yang lebih tinggi di antara penduduk miskin dapat merefleksikan
kebutuhan yang besar untuk mempunyai anak.
Di negara yang sukses mengurangi fertilitas, rasio
ketergantungan sudah rendah. Data menunjukkan bahwa pengurangan itu
meningkatkan produktivitas tenaga kerja dengan meningkatkan tabungan dan rasio
antara modal-tenaga kerja. Hal itu mendorong pertumbuhan ekonomi yang
berhubungan dengan transisi fertilitas,yang dikenal sebagai bonus kependudukan.
China, Thailand, Malaysia dan Indonesia telah mendapat keuntungan dari
peningkatan tabungan rumah tangga berhubungan dengan menurunnya beban ketergantungan.
Negara itu juga mendapat keuntungan dari tabungan sektor publik dengan makin
sedikitnya jumlah anak yang butuh sekolah dan pelayanan kesehatan.
Mengkaji masalah fertilitas, tak
cukup hanya mengenal dan memahaminya saja. Dibutuhkan alat bantu yang lebih
seperti faktor penyebab munculnya fertilitas tersebut. Hasrat untuk menikah dan
bereproduksi adalah salah satu kekuatan pendorong fertilitas. Dorongan yang
kuat dan sering obsesif ini dapat menimbulkan stres berat dan kebingungan dalam
memilih secara bijak kapan dan apa yang harus dilakukan saat kehamilan tidak
bisa terjadi. Nah, ada tiga faktor yang saya kemukakan yakni :
1. Usia wanita
Salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi fertilitas adalah usia si perempuan. Fertilitas cukup stabil pada saat seorang perempuan mencapai usia 35 tahun. Sesudah itu, terjadi penurunan fertilitas secara bertahap. Saat menginjak usia 40 tahun, fertilitas menurun drastis.
Oleh karena itu sangat penting bagi perempuan yang mendekati usia 35 tahun dan belum pernah hamil, untuk segera mencari perhatian medis. Hal tersebut menjadi alat pendesak bagi perempuan yang kian mendekati usia 40 tahun.
Salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi fertilitas adalah usia si perempuan. Fertilitas cukup stabil pada saat seorang perempuan mencapai usia 35 tahun. Sesudah itu, terjadi penurunan fertilitas secara bertahap. Saat menginjak usia 40 tahun, fertilitas menurun drastis.
Oleh karena itu sangat penting bagi perempuan yang mendekati usia 35 tahun dan belum pernah hamil, untuk segera mencari perhatian medis. Hal tersebut menjadi alat pendesak bagi perempuan yang kian mendekati usia 40 tahun.
2. Lama waktu mencoba mengandung
Ketika seorang wanita memutuskan untuk mendapatkan keturunan, mereka akan mudah merasa cemas jika tidak berhasil mendapatkan kehamilan setelah satu bulan mencoba. Tetapi fakta menunjukkan, secara normal, perempuan sehat (di bawah 30 tahun) yang melakukan hubungan badan secara teratur, hanya memiliki peluang gagal 20 hingga 40 persen selama siklus tertentu.
Jadi, apa yang salah pada 60 hingga 80 persen sisanya yang gagal? Sering kali, tidak ada alasan medis, dan penyebabnya biasanya adalah karena kualitas sperma atau sel telur terlalu jelek untuk mencapai fertilisasi, atau fertilisasi terjadi tetapi embrio tidak bisa bertahan hidup setelah beberapa hari.
Kenyataannya, menurut data National Center for Health Statistics, AS, peluang Anda untuk hamil sebenarnya cukup besar jika Anda melihatnya dalam rentang waktu satu tahun hubungan badan tanpa pelindung.
Ketika seorang wanita memutuskan untuk mendapatkan keturunan, mereka akan mudah merasa cemas jika tidak berhasil mendapatkan kehamilan setelah satu bulan mencoba. Tetapi fakta menunjukkan, secara normal, perempuan sehat (di bawah 30 tahun) yang melakukan hubungan badan secara teratur, hanya memiliki peluang gagal 20 hingga 40 persen selama siklus tertentu.
Jadi, apa yang salah pada 60 hingga 80 persen sisanya yang gagal? Sering kali, tidak ada alasan medis, dan penyebabnya biasanya adalah karena kualitas sperma atau sel telur terlalu jelek untuk mencapai fertilisasi, atau fertilisasi terjadi tetapi embrio tidak bisa bertahan hidup setelah beberapa hari.
Kenyataannya, menurut data National Center for Health Statistics, AS, peluang Anda untuk hamil sebenarnya cukup besar jika Anda melihatnya dalam rentang waktu satu tahun hubungan badan tanpa pelindung.
3. Masalah Medis
Jangan menunda untuk mendapatkan bantuan medis karena usia merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan fertilitas. Jika tidak ada masalah medis apa pun, perempuan berusia di bawah 30 tahun perlu berkonsultasi dengan ginekolog setelah menjalani masa 1 sampai 2 tahun hubungan badan tanpa pelindung. Tetapi mereka yang berusia antara 30 hingga 35 tahun harus mencari nasehat medis setelah enam hingga sembilan bulan. Urgensi ini meningkat pada perempuan 35 hingga 40 tahun jika mereka tidak kunjung hamil setelah enam bulan; sementara perempuan di atas 40 tahun harus mencari nasehat/saran medis setelah tiga bulan mencoba dan gagal.
Jangan menunda untuk mendapatkan bantuan medis karena usia merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan fertilitas. Jika tidak ada masalah medis apa pun, perempuan berusia di bawah 30 tahun perlu berkonsultasi dengan ginekolog setelah menjalani masa 1 sampai 2 tahun hubungan badan tanpa pelindung. Tetapi mereka yang berusia antara 30 hingga 35 tahun harus mencari nasehat medis setelah enam hingga sembilan bulan. Urgensi ini meningkat pada perempuan 35 hingga 40 tahun jika mereka tidak kunjung hamil setelah enam bulan; sementara perempuan di atas 40 tahun harus mencari nasehat/saran medis setelah tiga bulan mencoba dan gagal.
Kemudian, ada beberapa teori dari beberapa ahli
mengenai masalah penyebab terjadinya fertilitas.
Teori
Sosiologi tentang Fertilitas
Davis
dan Blake: Variabel Antara
Kajian
tentang fertilitas pada dasarnya bermula dari disiplin sosiologi. Sebelum
disiplin lain membahas secara sistematis tentang fertilitas, kajian sosiologi
tentang fertilitas sudah lebih dahulu dimulai. Sudah amat lama kependudukan
menjadi salah satu sub-bidang sosiologi. Sebagian besar analisa kependudukan
(selain demografi formal) sesungguhnya merupakan analisis sosiologis.
Davis
and Blake (1956), Freedman (1962), Hawthorne (1970) telah mengembangkan
berbagai kerangka teoritis tentang perilaku fertilitas yang pada hakekatnya
bersifat sosiologis.
Dalam
tulisannya yang berjudul “The Social structure and fertility: an analytic
framework (1956), Kingsley Davis dan Judith Blake melakukan analisis
sosiologis tentang fertilitas. Davis and Blake mengemukakan
faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas melalui apa yang disebut
sebagai “variabel antara” (intermediate variables). Menurut Davis
dan Blake faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang mempengaruhi fertilitas
akan melalui variabel antara.
Teori
Ekonomi tentang Fertilitas
Pandangan
bahwa faktor-faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap
fertilitas bukanlah suatu hal yang baru. Dasar pemikiran utama dari teori
transisi
demografis yang sudah terkenal luas adalah bahwa sejalan dengan diadakannya
pembangunan sosial-ekonomi, maka fertilitas lebih merupakan suatu proses
ekonomis daripada proses biologis. Berbagai metode pengendalian fertilitas
seperti penundaan perkawinan, senggama terputus dan kontrasepsi dapat digunakan
oleh pasangan suami isteri yang tidak menginginkan mempunyai keluarga besar,
dengan anggapan bahwa mempunyai banyak anak berarti memikul beban ekonomis dan
menghambat peningkatan kesejahteraan sosial dan material. Bahkan sejak awal
pertengahan abad ini, sudah diterima secara umum bahwa hal inilah yang
menyebabkan penurunan fertilitas di Eropa Barat dan Utara dalam abad 19.
Leibenstein
dapat dikatakan sebagai peletak dasar dari apa yang dikenal dengan “teori
ekonomi tentang fertilitas”. Menurut Leibenstein tujuan teori ekonomi
fertilitas adalah untuk merumuskan
suatu teori yang menjelaskan faktor-faktor yang menentukan jumlah kelahiran anak yang dinginkan per
keluarga. Tentunya, besarnya juga tergantung
pada berapa banyak kelahiran yang dapat bertahan hidup.
Tekanan yang utama adalah bahwa cara bertingkah
laku itu sesuai dengan yang dikehendaki. Apabila orang melaksanakan
perhitungan-perhitungan kasar
mengenai jumlah kelahiran anak yang dinginkannya.
Dan perhitungan-perhitungan
yang demikian ini tergantung pada keseimbangan
antara kepuasan atau kegunaan yang diperoleh dari biaya tambahan kelahiran
anak, baik berupa uang maupun psikis. Ada tiga macam tipe kegunaan yaitu :
1)
Kegunaan yang diperolah dari anak sebagai suatu suatu barang konsumsi
misalnya sebagai sumber hiburan bagi orang tua.
2)
Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi yakni,
dalam beberapa hal tertentu anak diharapkan untuk melakukan suatu pekerjaan dan
menambah pendapatan keluarga.
3)
Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai sumber ketentraman, baik pada
hari tua maupun sebaliknya.
Nah, Leibenstein menyimpulkan bahwa
kegunaannya adalah untuk memberikan kepuasaan, dapat memberikan balas jasa
ekonomi atau membantu dalam kegiatan berproduksi serta merupakan sumber yang
dapat menghidupi orang tua di masa depan. Sedangkan pengeluaran untuk
membesarkan anak adalah biaya dari mempunyai anak tersebut.